Selasa, 17 Mei 2011

157. Ketegaran di Balik Segala Kekurangan

Siang itu, cuaca kurang bersahabat. Angin bertiup kencang. Mendung mulai menyelimuti awan putih yang bergerak perlahan berubah menjadi kelabu… Ku percepat langkahku menuju sebuah warung kecil di dekat pusat perbelanjaan. “Mudah-mudahan jangan hujan dulu sebelum aku sampai di warung itu”, ujar bathinku sambil terus melangkah.

Dalam kondisi cuaca seperti ini, aku merasakan udara dingin masuk ke dalam rongga hidungku melalui tarikan nafas saat aku menarik dan membuang nafas. “Jangan kambuh….please…jangan kambuh, ya Allah…bantu aku”, kata bathinku terus menerus. Aku berusaha untuk tetap tenang dan stabil dalam langkah kakiku walau gerak langkah kaki ini ku percepat,

Kondisi tubuhku sangat rentan bila aku kecapaian. Aku akan kehabisan tenaga dan nafasku akan tersengal-sengal. Ya, aku memiliki penyakit sesak nafas, orang biasa menyebutnya ashma.

Kututup separuh wajah ini dengan jilbab yang kukenakan agar udara dingin tidak terlalu banyak yang kuhirup. Tiba-tiba…..byurrrr……..hujan turun dengan deras tanpa didahului dengan gerimis. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku sampai di warung kecil itu, tetapi hujan turun dengan cepatnya sehingga pakaian, sepatu basah kuyup oleh air hujan.

“ngiiiiikkkk……ngiiiikkkkk…..ngiiikkkk…,” bunyi nafasku…

Tubuhku gemetar karena dingin sementara bunyi nafasku semakin kencang…. nggggiiiikkkk…. ngggiiiikkkkk…. ngiiiikkkkk…

Aku mulai merasakan sesak yang mendalam, aku mulai kesulitan bernafas sementara tubuhkupun semakin gemetar menahan dinginnya udara.

“Sabar….sabar…sebentar lagi sampai di warung itu…”ujar bathinku….

Tak lama… aku pun tiba di sebuah warung kecil yang sejak semula akan ku tuju…

“Pak…pak….boleh saya numpang sebentar disini,”pintaku kepada pemilik warung kecil itu.

“Silahkan Nak…masuk aja,” sapa ramah Bapak tua pemilik warung.

“Terima kasih, Pak,”jawabku sambil kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam.

Aku berusaha tegar dengan kondisi yang kurasakan. Berkali-kali ku atur nafasku agar tidak bunyi…

Aku tidak mau menarik perhatian orang-orang di sekitar warung tersebut.

“uhuk…uhuk…ngiikkk….ngikkk…, tiba-tiba aku terbatuk-batuk disambung dengan bunyi nafasku. Aku semakin sesak. Batukku semakin keras dilanjut dengan bunyi nafasku.

Aku berjalan agak kepinggir menjauhi orang-orang yang sedang berteduh dalam warung itu. Kubungkukkan badanku untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk membantu jalannya pernafasanku.

“uhuk….uhuk…ngiiikkk…uhukk…uhukk…ngiikk….,”aku terus-terusan batuk dan menderik…ashmaku kambuh…

Aku sudah tidak kuat lagi…uhukkk…uhhuukkk..nggiikkk…, “Pak, bisa minta air panas…mendidih ya…,”pintaku kepada pemilik warung.

“Sebentar ya, Nak…,”

Tak lama kemudian…..ini, Nak….,”seraya memberikan segelas air panas mendidih dan meletakkan dimeja kecil dekat posisiku berdiri.

Dengan tangan gemetar, kucoba mengangkat gelas berisi air panas tersebut dan kuseruput airnya secara perlahan.

Terasa hangat dadaku…kuminum lagi pelan-pelan…sampai gelas itu kosong.

Aku meminta kembali air panas mendidih kepada Bapak tua sambil sesekali meminta maaf telah merepotkannya.

Hujan semakin deras. Aku harus bisa menolong diriku sendiri dan aku tidak mau menyusahkan orang lain dan membuat orang lain iba kepadaku.

“Ya…Allah….tolong angkat…sakitku, tolong sembuhkan…ya Allah..”,doaku sambil menyeruput kembali air panas yang diberikan oleh Bapak tua kepada ku.

Aku masih terbungkuk-bungkuk untuk mendapatkan posisi yang enak untuk bernafas…

Aku berjuang untuk diriku sendiri, semua orang memandangku dengan wajah iba.

Aku kesal kepada mereka yang melihatku. Aku merasa seperti tontonan yang patut ditonton dan dikasihani.

Lama aku terbungkuk-bungkuk hingga pada akhirnya akupun dapat mengendalikan emosiku pada situasi yang tidak menentu karena hujan angin.

Baju yang basah karena hujan telah kering dibadan, hujan deras yang disertai dengan angin pun sudah mulai mereda.

Perlahan aku menekukkan kakiku sambil masih terus membungkuk untuk mengambil posisi duduk.

Ku atur nafasku dan kurasakan batuk yang mendera diriku sudah mulai berkurang, dadaku sudah terasa lega..dan kulihat orang-orang yang ada disekelilingku satu persatu pergi meninggalkan warung kecil tempat kami berteduh sementara.

Sampai tinggal aku sendiri dan pemilik warung itu. Ah…akhirnya..aku bisa melewati permasalahanku… permasalahan dengan sakit yang kualami selama bertahun-tahun yaitu ashma.

Setelah hujan benar-benar reda, dan kurasakan tubuhku sudah agak ringan. Ku langkahkan kaki ini ke ruang lebih dalam lagi utuk mengembalikan gelas-gelas kosong bekas air panas yang ku minta tadi.

Saat ku buka horden, sebagai penutup dan pembatas ruang antara tempat menjual barang-barang dengan ruang tidur pemilik warung. Ku lihat Bapak tua yang telah memberiku minum berupa air panas, sedang membantu seseorang yang sedang berusaha bangkit dari posisi tidur untuk berubah menjadi posisi membungkuk.

“Pak…pak…, maaf ini gelasnya…taruh dimana ya,”ujarku kepadanya.

Bapak tua itu menoleh kepadaku dan aku semakin jelas melihat sosok yang dibantu oleh bapak itu. Seorang wanita tua, dengan raut wajah yang sangat lelah sekali… dan sesekali ku dengar nggiiikkkk… nggggiiiikkkk…. nggggiiikkkkk….

Ibu tua itu menderit seperti aku…., ini istri saya, kata Bapak tua pemilik warung memecahkan lamunanku sesaat.

“Istri saya…lumpuh separuh badan…sudah sepuluh tahun. Ia juga menderita sesak nafas…. Saya tidak tega dengan kondisi istri saya, lebih-lebih bila hujan tiba seperti tadi,”lanjutnya sambil membantu istrinya kembali.

Ku lihat wajah Ibu tua itu tersenyum…memandang ku.

“Bapak tidak bisa berbuat apa-apa, Bapak hanya bisa berserah diri pada Allah. Ini semua adalah pemberian dari Allah dan kita wajib untuk menjalani dengan penuh keikhlasan walau kadang Bapak juga merasa lelah dan capai.. Jangankan Bapak, Ibu lebih capai dibandingkan Bapak..”,lanjut Bapak tua itu kembali.

“Hanya ini yang bisa Bapak lakukan dalam menjalani hidup ini,”sambil menerima gelas-gelas kosong bekas minumku setelah mendudukan istrinya di sebuah dipan tua tempat Ibu itu tidur.

“Ya…Allah…. Tidak seberapa ujian yang kau berikan kepadaku dibandingkan dengan kondisi Ibu tua itu. Kadang mulut dan hati ini mengeluh, tidak ikhlas menghadapi dan menjalani ujian Mu, Ya Allah… maafkan aku…astagfirullah.

., tak terasa ada butiran-butiran hangat yang jatuh dari pelupuh mataku dan mengalir dipipiku..

Ku rogoh dompet dalam tas dan ku ambil beberapa lembar uang yang ada dalam dompet itu. Walau tidak banyak, aku ingin meringankan beban orang tua itu.

“Pak….maaf, ini ada sedikit rejeki…. Tolong diterima…dan terima kasih, tadi Bapak telah menolong saya dengan memberikan air minum panas, hingga saya sekarang sudah mulai lega kembali….,”ku ulurkan tanganku menggenggam tangan Bapak tua pemilik warung..

Ku dengar ucapan terima kasih dari Bapak tua itu dan ku lihat wajah Ibu yang sedang menahan rasa sakit…tersenyum padaku sambil mengangguk… dan sesekali kudengar…ngiiiikkk……ngggiiikkkkk….ngggiiikkkk….

Senyuman yang tegar dari seorang ibu dibalik segala kekurangannya.

Kulangkahkan kaki ini keluar dari warung kecil, walau masih terasa sesak di dada… kulangkahkan kaki menuju halte bis tak jauh dari warung kecil tempat ku berteduh tadi. Ku lihat jam di tanganku sudah menunjukan angka lima… hari telah senja bahkan hampir menjelang malam…

Tak lama ku menunggu di halte bis, Mikrolet 02 jurusan Pondok Gede tiba dan siap mengantarkan ku pulang. Hari ini aku telah mendapatkan suatu pelajaran yang paling berharga dari kehidupan sepasang suami istri yang saling mengasihi dan saling menyayangi satu dengan lainnya…serta kata yang disampaikan oleh Bapak tua, menjadikan hati dan pikiranku terbuka yaitu ….BERSERAH DIRI….

Allah berfirman dalam Al Qur’an surah ke 31, ayat 22:

“Dan barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan dia berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia berpegang kepada tali yang kukuh. Dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan”.

Medio, Selasa 9 Desember 2008.

oleh : iastrito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar