Kamis, 22 Agustus 2013

358. Last Hope

Bila semua teman-temanku bernyanyi, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak pernah tau harus bagaimana mengatakan pada dunia betapa aku sangat ingin seperti mereka, bisa mendengar dan bernyanyi layaknya kehidupan normal. Sayangnya aku terlahir dengan keadaan tuli, lebih sadisnya terkadang mereka orang-orang yang tidak pernah mengerti perasaanku berkata kalau aku
“ BUDEK”...

“ Walaupun aku tidak bisa mendengar..”

Ayah duduk dikursi dan menyuruhku memperhatikannya bermain piano, Ia menutup matanya lalu memainkan alunan tut piano itu.
“ Anakku, rasakanlah musik itu dalam hati dan kamu akan tau betapa Tuhan sangat mencintai siapa pun makluk yang ia ciptakan. Walaupun kamu terlahir dengan keadaan cacat dan tidak bisa mendengarkan suara musik itu dari telinga kamu.. Kamu bisa mendengarnya lewat hati kamu..”


Ayah mengajakku untuk menyentuh setiap toth piano dan kami bermain bersama, aku memang tidak bisa merasakan apa suara music itu tapi aku bisa merasakan nada dari jari yang ku tekan dan itu membuatku bersemangat untuk berlatih piano klasik, aku tau ibuku adalah seorang pemain piano sebelum ia meninggal saat melahirkanku. Aku pun berjuang untuk bermain musik dan perlahan aku mampu membuat sedikit alunan music yang indah. Semua itu ku rasakan dalam hatiku, semua itu kurasakan dalam jiwaku.



Beberapa minggu kemudian, aku mulai berani mendaftar dalam tim musik sekolahku dan guruku menerimaku walaupun ia tau aku cacat tapi setelah aku mainkan piano dan ia terkesan. Aku tau semua orang melihatku dengan aneh, seorang teman bernama Agnes datang padaku.



“ Hai orang cacat, apa yang bisa kamu lakukan dengan telingamu yang tertutup kotoran?”

Yang lain tertawa dan menambah kalimat yang melukai hatiku,
“ Dia mungkin mau jadi badut diantara tim kita, biarkan saja..”
Ejekan itu berakhir saat guruku datang, mereka semua kembali ke posisi mereka masing dalam alat music yang mereka kuasai. Ibu guru pembimbing kelas musik bersikap hangat padaku, ia memperkenalkanku pada semuanya.
“ Anak-anak mulai hari ini Angel akan bergabung dalam tim kita, semoga kalian bisa berkerja sama dengan Angel ya..”
“ Ibu apa yang bisa lakukan untuk tim kita, dia kan budek?” ejek Agnes.
“ Agnes!! ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk menghina orang lain, jaga sikap kamu. Walaupun Angel cacat secara fisik ia juga memiliki perasaan, tolong kendalikan kata-kata kamu.”


Aku senang ibu membelaku tapi itu malah membuat semua membenciku, ibu mempersilakan aku memainkan piano, dengan gugup aku bisa bermain dengan baik. Tidak ada satu pun tepuk tangan dari teman-temanku, hanya ibu guru seorang. Ketika kelas bubar aku mendekat pada ibu guru, aku menuliskan apa yang ingin aku katakan kepadanya, Ia membacanya.

“ Ibu, aku mundur saja dari tim, aku tidak mungkin bisa menjadi bagian dari mereka. Karena aku ini cacat. Mereka tidak akan menerimaku?”

“ Tidak sayang, jangan berkata demikian, kamu special, kamu berbakat, mereka hanya belum terbiasa, percayalah kalau kamu sudah sering bermain dengan mereka. Kamu akan diterima dengan suka cita. Jadi ibu tidak mau mendengarkan kalimat kamu ingin mundur..”

“ Tapi bu, aku takut bila membuat semua jadi kacau.”

“ Anakku, beberapa minggu lagi, sekolah ini akan merayakan hari ulang tahunnya, ibu percaya kamulah satu-satunya orang yang layak mengisi tempat di bagian piano, karena teman kamu Rika (pianis sebelumnya) telah mundur karena sakit cacar”..



Aku pulang ke rumah dan memberi kabar kalau aku diterima dalam tim musik sekolah, ayah begitu gembira menunggu saat-saat aku akan berada dipanggung, ia terus melatih permainan pianoku.
Aku tidak pernah cerita betapa aku sangat diremehkan oleh teman-teman se-timku yang hanya menganggap aku sampah yang tidak layak disamping mereka. Mereka sering memarahi aku dengan kata-kata kasar lalu mereka menghinaku sebagai gadis cacat, hal itu terus terjadi disaat kami berlatih persiapan untuk panggung sekolah.


Mereka tidak pernah peduli apa yang kumainkan bila benar, mereka selalu bilang salah. Padahal aku yakin aku benar-benar memainkan musik piano ini, sedihnya saat aku bertanya dimana letak kesalahanku yang mereka jawab lebih menyakitkan.



“ Kamu ini tuli dan budek, bagaimana bisa kamu tau alunan musik yang kamu mainkan itu benar atau salah? Kamu membuat aku muak dengan sikap kamu yang sok pintar dan mencari muka di depan bu guru.” Kata Agnes padaku.


Aku menangis mendengarkan kalimat itu, aku berlari pulang ke rumah dan satu-satunya kalimat yang kudengar hanya satu.

“ Pergi kamu gadis cacat, jangan pernah kembali ke tim kami, kami tidak sudi menerima kamu dalam kelompok ini.”

Aku menangis hingga di depan rumahku dan ketika aku tiba di gerbang rumahku, sebuah mobil ambulan ada di depan rumahku dan membawa ayah. Aku mengejar perawat yang membawa ayah, ayahku tampak tertidur tanpa bicara, seorang tetanggaku berkata padaku.


“ Ayahmu terkena serangan jantung, kamu ikut tante saja. Kita pergi bersama-sama ke rumah sakit.”


Aku shock dan menangis! Bagaimana hidupku tanpa ayah? Sepanjang perjalanan aku terus menitikkan air mata. Ayah tidak sadarkan diri sejak sakit jantungnya kambuh, ia memang memiliki sakit jantung sejak menikah padahal usianya masih sangat muda. tiga hari lamanya aku menemani ayah yang tidak pernah sadarkan diri. Tiga hari pula aku tidak pernah ke sekolah, bu guru bertanya pada Agnes mengapa aku tidak masuk hari ini?


bergabung dengan tim kita, dia itu bodoh bu! Selalu melakukan kesalahan dan dia pergi begitu saja saat latihan dan tidak pernah kembali hingga saat ini.

Ibu guru mencoba pergi ke rumahku, tapi tidak ada seorang pun orang dirumahku. Aku tau beberapa hari lagi perayaaan musik di sekolahku akan dimulai. Mungkin memang sudah menjadi garis tangan hidupku, aku tidak boleh menjadi tim sekolah. Padahal aku sudah berjuang maksimal berlatih piano di rumah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menjaga ayahku karena ia lebih penting dalam hidupku, ia satu-satunya sahabatku yang bisa mengerti keadaan ku setelah ibu meninggal dunia.
Ya Tuhan jangan ambil ayahku, doaku setiap saat kepadanya..



Seminggu kemudian,


Ayah tersadar dan melihat aku di sampingnya. Ia tidak bisa bicara banyak, selain bertanya mengapa aku di sini, mengapa aku tidak berlatih bersama tim musik di sekolahku, aku berpura-pura berkata padanya kalau mereka memberikan aku izin menjaga ayah. Ayah marah padaku, ia bilang aku harus segera latihan dan ia ingin aku tampil di sana.

“ Jangan pedulikan ayah saat ini, yang penting kamu harus bisa buktikan kepada semua orang kalau kamu bisa bermain musik dan tunjukkan kepada mereka kamu gadis yang sempurna ”

Aku tau itu berat, tapi aku tidak ingin ayah bersedih mendengar penolakkan sahabatku di sekolah, ia berjanji padaku akan lekas sembuh asal aku terus bersemangat latihan musik. Akhirnya aku pun pergi ke sekolah kembali dan masuk ke kelas musik. Ibu guru menyambutku dengan baik, dan langsung memintaku berlatih. Setelah ia pergi, Agnes dan kawan-kawan mendekatiku, mereka mendorongku hingga terjatuh.

“ Kamu itu makluk Tuhan paling menjijikan, jangan membuat tim kami malu dengan kehadiran kamu di tim music kami. tidak punya malu, padahal kami sudah mengusirmu..”

Aku terdiam, seorang teman mengatakan pada Agnes,
“ Percuma dia tuli, dia ga akan mendengarkan apa yang kita bicarakan.”
Agnes marah merasa aku tidak mendengarkan semua kemarahannya, Ia bersama teman-teman mendorongku hingga keluar ruangan, aku mengetuk pintu dan ketika tanganku berusaha membuka pintu, mereka menjepit tanganku tanpa ampun, aku berteriak kesakitan dan mereka tidak peduli
“ Astaga dia bisa menjerit juga ya.. kirain dia itu bisu, bisa teriak juga hahaha “ ledek mereka.
Mereka menyiksaku dan aku tidak berdaya. Tanganku terasa mati rasa, mungkin jariku patah. Aku meminta tetanggaku untuk membalut luka ini dan ia sangat terkejut dengan keadaanku. Aku berkata padanya aku terjatuh di jalan. Tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk menjadi tim musik kelasku. Hingga hari itu tiba, dengan luka balut tanganku aku muncul di sekolah. Sebelumnya aku mengatakan pada ayah .
“ Ayah hari ini aku akan bermain musik di hadapan semua orang, ayah harus mendengarkan ya. “
“ Anakku, ayah pasti mendengarkan. Maaf saat ini ayah sedang sakit, ini adalah hari istemewamu. Tapi ayah sudah pikirkan bagaimana caranya. Ambil telepon genggam ayah dan biarkan itu menyala saat kamu mainkan.”
“ Baik ayah.” Aku menuruti ide cermerlang ayah.
Saat aku keluar ruangan, dokter mengatakan hal kecil disamping ayah “ Jantung anda melemah, anda harus terus berpikir positif sehingga cepat sembuh”
“ Anak saya akan manggung hari ini, itu membuat saya cemas”
“ Percayalah, anak anda adalah gadis luar biasa"...

Aku menangis menuju sekolahku, Saat aku tiba di sekolah, Agnes dan kawan-kawan melihatku dengan jijik. Sepertinya mereka tidak mau aku di panggung, mereka manarik bajuku dan menamparku di belakang panggung.

“ Pergi cepat, jangan pernah ada disini, kami akan tampil tanpa kamu. Cepat pergi? Sebelum ibu guru datang”
Tidak, aku tidak akan menyerah walaupun mereka menyiksaku. Aku sudah berjanji pada ayah untuk bermain musik di acara sekolah. Karena mereka mendapatkan aku tidak menyerah, akhirnya mereka mengancam tidak akan tampil dan memaksa aku tampil seorang diri, mereka ingin membuatku malu.
“ Baiklah, kami tidak akan tampil. Dan silakan kamu tampil sendirian, jadilah badut diatas panggung..”
Aku tidak mampu berbuat apa-apa ketika mereka mengikat rambutku layaknya orang bodoh, memoles mukaku dengan cat warna merah menyerupai badut sirkus. Aku tidak peduli, aku hanya ingin ayah bahagia dan menepati janji kepada ayah untuk tampil dalam panggung itu. Setelah puas mendandaniku seperti badut mereka pergi mendorong aku di atas panggung saat ibu guru yang bertugas menjadi pembaca acara memanggil tim kami dan aku muncul sendirian, mereka semua berlarian mengumpat.
“ DImana yang lain?” tanya ibu guru,
Aku terdiam, semua orang yang ada di bangku penonton menertawakan aku, mereka melihat badut yang sedang berada di atas panggung, aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa.
“ Astaga apa yang terjadi padamu dan yang lain pergi kemana? Kita tidak akan bisa menjalankan acara music ini.”

Aku mengambil kertas dan menuliskannya “ Bu, izinkanlah aku bermain piano ini, aku sudah berjanji pada ayah untuk bermain piano, ia sedang terbaring lemas di rumah sakit, jantungnya melemah hari ini, aku takut ia akan semakin buruk bila tau aku gagal bermain bersama tim musik di sekolah”
Ibu menatapku, ia sadar betapa aku sangat sulit. “ Baiklah mainkanlah piano ini, tunjukkan pada dunia kalau kamu adalah orang special dengan musikmu”
“ Terima kasih bu.”
Ibu guru memberikan kata-kata sambutan kepada penonton yang terus tertawa karena melihat badut sepertiku, tapi aku tidak peduli. Dengan keunggulan 3g, aku mengadakan video call dan ayah tersenyum padaku memberikan semangat, ku letakkan telepon itu di atas meja piano.
“Tuhan bimbing aku agar semua berjalan dengan baik. Dan dengarkanlah musik ini..”
Setiap denting musik mulai memecahkan semua tawa yang awalnya menghujatku, menghinaku, alunan musik ini membawa perjalanan kisahku untuk berjuang menunjukkan pada dunia, aku memang terlahir cacat, aku tidak pernah tau apa artinya musik, tidak tau bagaimana suara burung, suara ayah bahkan tragisnya aku tidak pernah tau suara yang keluar dari mulutku sendiri.
Tapi aku percaya, aku tercipta bukan tanpa tujuan dalam dunia ini. ketika lagu itu usai ku mainkan, semua berdiri dan memberikan tepuk tangan, aku menangis. ibu guru memelukku, aku ingin ibu menyampaikan pesanku kepada penonton.

“ Terima kasih, memberikan aku kesempatan untuk berada di tempat ini. Kini aku tau mengapa aku berbeda, karena Tuhan mencintaiku. Aku tidak akan marah pada Agnes dan teman-teman, aku bersyukur karena mereka mengajarkan aku tentang ketekunan dan ikhlas. Termasuk ayah, yang selalu bilang padaku

“ kita tidak perlu merasa sedih dengan keadaan kita, bagaimanapun bentuknya. Karena Tuhan memberikan kita nafas kehidupan dengan tujuan hidup masing-masing”


Ya aku percaya itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar