Kamis, 17 Juli 2014

457. I Can Do It



Ada seorang Bapak sedang bercakap-cakap dengan dua orang anaknya yang beranjak remaja tentang masalah keseharian mereka.

Pembicaraan mereka kali ini ringan saja, tentang apa yang mereka kerjakan sehari-hari, tapi mungkin baru bisa dibicarakan kali ini.

Dalam obrolan yang biasa mereka lakukan sehari-hari itu, mendadak yang kecil protes kepada Bapaknya, “Pak, kenapa sih kalau nyuruh aku itu kerjaannya kalau nggak nyapu atau nyiram bunga? Kenapa ke Kakak Cuma disuruh bantu Ibu memasak saja?”

Si Bapak tersenyum.

“Kamu ingin masak juga?”

“Iya… Gantian kakak yang nyapu dan nyiram bunga.”

Sang adik yang dimaksud tidak banyak komentar. Dia hanya mendengarkan apa yang sedang dibicarakan ini.

“Kamu kan pernah masak juga, Dik… Masak sayur asem.”

Sang adik terdiam sejenak. Mungkin pikirannya sedang mengingat peristiwa yang dikatakan Bapaknya itu. Lalu ia tersenyum sendiri.

Ia ingat, ketika mencoba membuat sayur asem bersama Ibunya tempo hari, ternyata yang jadi malah sayur tak bernama, sebab rasanya macam-macam. Ada asam, manis, asin dan hebatnya lagi, ia mencampurkan kentang di dalamnya.

Seperti sayur sop. Tentu saja membuat seisi rumahnya punya komentar tersendiri.

Adik pun mendadak ketawa-tawa sendiri lalu diikuti tawa Bapak dan kakaknya. Mereka sama-sama mengingat peristiwa lampau itu.

“Lalu, pas kakak harus merawat bunga-bunga di taman, selesai dari kebun, sekujur tubuhnya malah digigitin nyamuk dan serangga lain. Kakak sempat dibawa ke rumah sakit bukan?”

Kali ini, Kakak yang tersenyum duluan. Mengingat peristiwa menggelikan sekaligus menyedihkan juga.

“Nah, jadi kalian sebenarnya sudah mendapat porsi masing-masing, berbahagialah untuk itu. Kalian tidak perlu capai mengerjakan yang harusnya dikerjakan orang lain.”

Sering kali dengan dalih ingin membantu, gemas karena tidak dikerjakan atau justru memang dari diri kita sendiri yang tidak pernah puas, ternyata kita menghambat orang lain untuk maju dengan apa yang dia punya dan bisa. Padahal dari kecil pun; bahwa manusia diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tinggal bagaimana kita mengolahnya pada proses selanjutnya, sehingga kita dapat menjadikan hal itu menjadi sebuah pegangan berarti dalam hidup.

Tetapi, saat perasaan-perasaan itu menguasai diri, beranikah kita membiarkan dan mempersilahkan orang lain yang memang sudah “dijatahkan” atau “ahli”nya untuk melakukan serta memberikan yang terbaik dari kebisaannya itu?

“Silahkan Anda saja yang mengerjakan. Saya tidak mampu. Saya percaya Anda pasti bisa mengerjakannya dengan baik.”

Gengsi kadang menguasai untuk mengakui bahwa aku punya kekurangan dan ia dapat menutupinya sehingga biarlah ia saja yang mengerjakannya dan dengan caranya sendiri.

Andaikata ibu jari ingin setinggi jari tengah, lalu bagaimana kita bisa lancar ber-SMS? Misalnya jari telunjuk tidak mau menjalankan tugasnya sebagai jari penunjuk, apakah dengan jari kelingking akan terlihat jika kita bertanya sesuatu?

Memang ini masalah sulit, apalagi jika ternyata kita pun sebenarnya merasa mampu dan ingin pula memberikan yang terbaik Ada perang batin yang mungkin terjadi sebelum kita memutuskan apa.

Tetapi, jika kita kembali pada kepercayaan bahwa manusia punya kelemahan dan kelebihan masing-masing, mestinnya bisa saling menghargai.

Mungkin baik jika kita mengambil alih pekerjaan itu, namun membantu saja seperlunya. Selanjutnya biarlah yang memang seharusnya yang mengerjakan. Soal hasil, anggap saja itu bagian dari proses.

Sebab di mata Tuhan, tidak ada manusia yang tidak sempurna. Ia telah melengkapi ciptaan satu itu dengan segala yang dibutuhkan bahkan dengan kondisi paling buruk sekali pun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar